Ru'yatullah



BAB  I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
   Agama Islam merupakan agama yang membahas seluruh aspek gejala kehidupan yang ada, dari mulai masalah yang menyangkut tentang pembahasan mengenai zaman azali, alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzakh hingga sampai pembahasan mengenai akhirat, yang mana ini merupakan puncak dari perjalanan segala kehidupan.
          Pembahasan mengenai akhirat tampaknya tidak bisa semata-mata didekati secara rasional-ilmiah karena jika hanya mengandalkan rasionalitas atau ukuran panca indra akan gagal mengkonsepsikannya. Diantara tahapan-tahapan akhirat yang akan dilalui salah satunya adalah Ru’yatullah (melihat Allah) yaitu melihat Allah SWT dengan penglihatan mata kita, dinamakan demikian karena pada hari ketika manusia di bangkitkan, kelak manusia akan dapat melihat Allah SWT dengan mata kepala sendiri

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ru’yatullah ?
2. Apa saja dalil-dalil tentang ru’yatullah ?
3. Bagaimana Ru’yatullah itu terjadi ?
4. Bagaiman pandangan golongan-golongan tentang ru’yatullah ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ru’yatullah
Ru’yatullah itu berasal dari kata Ru’yah dan  Allah, ru’yah secara bahasa berarti melihat berasal dari kata رأي،يري،رأياً،ورأيةً yaitu melihat dengan mata kepala ataupun mata telanjang. Sehingga ru’yatullah berarti melihat Allah SWT dengan penglihatan mata kita. Dinamakan demikian karena pada hari ketika manusia di bangkitkan, kelak manusia akan dapat melihat Allah SWT dengan mata kepala sendiri.
Ru’yatullah merupakan kenikmatan yang paling tinggi yang akan dirasakan oleh ahli surga, dikarenakan mereka dapat menyaksikan Allah SWT secara langsung, bermunajah dengan-Nya, dan merasa damai dalam ridho-Nya.
Karena merupakan kenikamatan yang paling tinggi, sehingga para penghuni surga melupakan kenikmatan lain yang mereka rasakan di dalam surga. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ketika para penghuni surga berada dalam kenikmatan mereka, tiba-tiba muncullah cahaya menyinari mereka. Maka mereka pun mendongakkan kepala mereka, dan ternyata atas karunia-Nya Allah ‘Azza wa Jalla telah menghampiri mereka dari atas, seraya mengucapkan,’ Assalamu’alaikum, hai sekalian penghuni surga’.
Rasul bersabda, “Itulah yang dimaksud pada firman Allah ‘Azza wa Jalla, ‘ Salamun qaulan min Rabbir Rahiim’.”
Rasul bersabda (meneruskan ceritanya): Maka Allah memandang kepada segenap penghuni surga, dan mereka pun memandang kepada-Nya. Mereka tidak menengok kepada kenikmatan apa pun selama mereka memandang kepada-Nya, sehingga Allah tidak terlihat lagi oleh mereka. Tetapi masih ada tertinggal, yaitu cahaya dan berkah-Nya atas mereka dalam rumah-rumah mereka.” (HR. Ibnu Majah, dalam sunannya 1/65, 66).
Sebaliknya, diharamkannya melihat hal tersebut (melihat Allah SWT) dan ditegaskanya ketiadaan harapan bagi para penghuni Neraka Jahim, atasnya lebih memberatkan bagi mereka daripada adzab neraka Jahim. Pendapat ini disepakati oleh para Nabi, para Rasul, seluruh Sahabat, Tabi’in, dan para imam Islam dari masa ke masa.

B. Dalil-Dalil Tentang Ru’yatullah
     Ada banyak nash-nash yang menunjukkan bahwa kita bisa melihat Allah SWT di akhirat kelak. Berikut ini di antaranya:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)  
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang uhannya.”
(QS. Al-Qiyamah: 22-23).
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Syaukani mengatakan, “ Maksudnya adalah melihat langsung Penciptanya, yakni melihat-Nya. Makna ini juga di tegaskan hadis-hadis shahih dan mutawatir yang menyebutkan bahwa orang-orang mukmin bisa melihat Tuhan mereka pada hari kiamat kelak sebagaimana mereka bisa melihat bulan pada malam purnama.” Di ayat ini, arah melihat adalah ke wajah yang merupakan tempat pandangan. Digunakanya idiom ilaa dalam ayat ini, di samping tidak adanya qarinah yang menunjukkan makna sebaliknya, menegaskan bahwa yang dimaksud Allah dengan melihat adalah dengan penglihatan mata kepada wajah-Nya.
Dan Allah SWT berfirman:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ (15)  
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. (QS. Al-Muthaffifin: 15)
Pengambilan dalil ayat ini terlihat dari penegasan bahwasanya Allah SWT akan menyiksa orang-orang kafir dengan siksaan yang keras, yakni dalam bentuk kondisi atau keadaan mereka yang terhalang dari melihat-Nya. Seandainya orang-orang Mukmin tidak dapat melihat Rabb, tentu mereka juga termasuk orang-orang yang terhalang dari melihat Allah. Imam as-Syafi’I ber-hujjah dengan ayat ini terhadap keyakinan melihat Allah SWT di akhirat.

C. Terjadinya Ru’yatullah
   Tentang bagaimana ru’yatullah itu akan terjadi terlebih dahulu kami akan membaginya dalam dua bagian, di antaranya:
1.    Waktu
Masa dimana seorang hamba dapat melihat Robbnya tidak banyak menuai kontroversi karena perkara tersebut dikategorikan sebagai persoalan ekskatologi (ajaran tentang akhir zaman/ kehidupan setelah mati) yang informasi berkenaan denganya hanya didapatkan dari al-akhbar al-Mughayyabat dalam Nash Qath’i. Kehidupan manusia berada di dua tempat yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan setelah dunia (alam akhirat), ketika ru’yatullah dikaitkan dengan ruang waktu yang nyata, itu mengundang anggapan bahwasanya dzat Allah bisa dilihat di ruang waktu sekarang serta bisa dilihat dengan mata telanjang, namun anggapan ini sangat jelas dibantah oleh Nash al-Qur’an karena hanya pada kehidupan setelah mati saja manusia baru bisa melihat dzat-Nya.
Diantara nash-nash yang membantah anggapan tersebut sebagai berikut:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (103)    
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-An’am: 103)”.
Dalam ayat yang lain Allah pernah berfirman kepada Nabi Musa: ‘Lantaraanii’ (kamu tidak akan ‘sanggup’ melihat-Ku) [Al-A'raf : 143]. Terlebih lagi terdapat hadits-hadits yang mengisyaratkan tentangnya pula, contohnya: Rasulullah SAW bersabda: “Ketauhilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabbnya hingga ia meninggal dunia”. Juga pernyataan ‘Aisyah ra, ia berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.”
2.      Tempat
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa ru’yatullah itu tidak akan terjadi di kehidupan dunia, akan tetapi baru bisa dilihat pada kehidupan setelah mati atau biasa yang disebut dengan alam akhirat.
Untuk tentang masalah tempat dimana Allah bisa dilihat itu ada dua kemungkinan:
Pertama, Allah SWT bisa dilihat ketika berada di syurga, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi yang berbunyi: Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, Allah Taala berfirman: ”Apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan Aku tambahkan?”. Mereka berkata: “Bukankah Engkau telah memutihkan muka kami dan memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”. Kemudian Allah membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang telah diberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya Yang Maha Tinggi. (HR.Muslim,dari Shuhaib).
Kedua, ialah Allah SWT bisa dilihat ketika manusia berkumpul di padang mahsyar, Berkata Syaikh al-Utsaimin : Kaum Mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi kesimpulanya, manusia akan melihat Allah dengan mata telanjang ketika setelah mereka mati (di akhirat) dan ada yang berpendapat bahwa Allah itu akan menampakkan wajah-Nya agar bisa dilihat oleh manusia ketika di padang mahsyar dan yang kedua ialah ketika berada di dalam surga.
D. Pandangan Beberapa Golongan Tentang Ru’yatullah
          Di sini akan dibicarakan tentang empat golongan :
1.  Mu’tazilah
            Mereka mengingkari ru’yah, karena selalu berpegang teguh prinsip dan pikiran yang logis, mereka mengingkari kejaziman, kemudian mengingakari arah dan akhirnya tentu mengingkari ru’yah.
Alasan syara :
a)      Firman Allah : Ia tidak akan diliputi mata kepala, tetapi ia yang meliputi mata kepala ( Al-An’am : 103 )
b)      Firman Allah : tidak sanggup engkau melihatKu ( Al-A’raf : 143)

            Kedua ayat di atas bagi orang-orang mu’tazilah adalah ayat muhkam, sedangayat-ayat lainnya yang berlawanan lahirnya, dianggap mutasyabihat yang harus di takwilkan.
Alasan pikiran :
a)      Apabila Allah bukan jisim, Ia tidak beranak, sehingga tidak dapat dilihat manusia. Sesuatu yang dilihat harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat, tegasnya ru’yah hanya dapat terjadi di atas benda
b)      Seuatu yang dapat dilihat, memrlukan syarat-syarat antara lain yang dilihat berwarna dan sinar, hal tersebut tidak mungkin pada Allah.
2.  Al-Asy’ariyah
            Al-Asyari menciptakan arah bagi Allah, sehingga mengakui adanya ru’yah di akherat, bukan di dunia.
Alasan syara :
            Firman Allah : “ketika itu hari kiamat muka berseri-seri sambil melihat Tuhannya  (qiyamah : 22, 23)
Menurut al Asyari ayat tersebut membuktikan adanya ru’yah, hal ini bertentangan dengan mu’tazilah yang menganggap ayat tersebut mutasyabihat yang memerlukan penakwilan. Perkataan Naazirah bukan dimaksudkan memperhatikan dan mngambil tauladan,seperti yang dipahamkan dari surat al Ghasiyah : 17.
            Bukan pula yang dimaksudkan menanti dan mengharapkan sebagaimana yang dipahamkan dasi surat Shaad ayat 15.
            Kedua ayat tersebut bukan yang dimakssudkan dari surat qiyamah : 22, 23 karena akherat bukan lagi tempat memperhatikan dan mengambil teladan atau menanti, mengharapkan sebagaimana yang disangka aliran mu’tazilah. Selain itu, menghubungkan melihat dengan muka menunjukan bahwa melihat tersebut akan terjadi dengan mata kepala.

3.  Al-Maturidi
            Ia berpendapat bahwa ru’yah akan terjadi dan sudah disepakati ahli sunnah, dikuatkan pula nash-nash agama yang muhkam. Rukyah tidk mungkin dengan mata kepala tetapi dengan hati atau pikiran, sehingga tidak mungkin menimbulkan kejiziman Allah, ru’yah terjadi tanpa bagaiman dan di mana.
Alasan syara :
            Ialah surat al-An’am : 103 yang diajdikan dasar penolakan aliran mu’tazilah sebelumnya sedang pemikirannya mirip dengan pemikiran al-Asyariah.
4. Ibnu Rusyd
            Ia menolak pemikiran al-asyariyah bahwa melihat Allah di akhirat tidak memerlukan syarat-syarat materiil untuk dapat diliaht dengan mata kepala. Ia menolak pula pendapat Al- Juaini yang menyatakan bahwa sesuatu dapat dilihat bukan karena warna, bukan pula karena bendanya, tetapi karena ia wujud. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sesuatu dapat dilihat karena ia berupa benda yang berwarna. Kalau dapat dilihat dari segi ia ada, tentunay semua suara bahkan objek indera yang lima dapat dilihat, dengan demikian suatu hal yang tidak masuk akal. Memang golongan al-asyariyah tidak segan-segan mengatakan bahwa warna dapat didengar denga dapat dilihat. Oleh sebab itu Ibnu Rusyd berpendapat mempersalkan ru’yah kepada orang banyak adalah bid’ah. Tegasnya cukup dikatakan bahwa Allah itu cahaya dan bumi seisinya dalil syara.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
   Ru’yatullah itu berasal dari kata Ru’yah dan  Allah, ru’yah secara bahasa berarti melihat berasal dari kata رأي،يري،رأياً،ورأيةً yaitu melihat dengan mata kepala ataupun mata telanjang. Sehingga ru’yatullah berarti melihat Allah SWT dengan penglihatan mata kita. Dinamakan demikian karena pada hari ketika manusia di bangkitkan, kelak manusia akan dapat melihat Allah SWT dengan mata kepala sendiri.
Ada banyak nash-nash yang menunjukkan bahwa kita bisa melihat Allah SWT di akhirat kelak. Berikut ini di antaranya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)  
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang uhannya.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).
Dan Allah SWT berfirman:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ (15)  
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. (QS. Al-Muthaffifin: 15)
   Tentang bagaimana ru’yatullah itu akan terjadi terlebih dahulu kami akan membaginya dalam dua bagian, di antaranya:
    Waktu dan tempat
Pandangan Beberapa Golongan Tentang Ru’yatullah
          Di sini akan dibicarakan tentang empat golongan :
·         Mu’tazilah
            Mereka mengingkari ru’yah, karena selalu berpegang teguh prinsip dan pikiran yang logis, mereka mengingkari kejaziman, kemudian mengingakari arah dan akhirnya tentu mengingkari ru’yah.
·         Al-Asy’ariyah
            Al-Asyari menciptakan arah bagi Allah, sehingga mengakui adanya ru’yah di akherat, bukan di dunia.
·         Al-Maturidi
            Ia berpendapat bahwa ru’yah akan terjadi dan sudah disepakati ahli sunnah, dikuatkan pula nash-nash agama yang muhkam. Rukyah tidk mungkin dengan mata kepala tetapi dengan hati atau pikiran, sehingga tidak mungkin menimbulkan kejiziman Allah, ru’yah terjadi tanpa bagaiman dan di mana.
·         Ibnu Rusyd
            Ia menolak pemikiran al-asyariyah bahwa melihat Allah di akhirat tidak memerlukan syarat-syarat materiil untuk dapat diliaht dengan mata kepala.


DAFTAR PUSTAKA

Romas, Ghofir. Ilmu Tauhid. 1997. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cabang-Cabang Ilmu Fiqih

Review Jurnal